Selasa, 11 November 2008

EKSISTENSI TAMBANG TIMAH

PERTAMBANGAN Timah di Bangka merupakan wilayah abu-abu (grey area). Sebuah wilayah usaha yang kerap diselimuti serba kekaburan, tak jelas dan tak tegas. Pengusaha yang mengusung idealisme dan masuk ke ceruk ini, ia tidak aman.

Kalau hanya mengusung idealisme, maka pengusaha tidak aman. Itulah usaha TAMBANG timah. Sebuah wilayah usaha yang abu-abu. Inilah Republik Indonesia,” kata Ismiryadi, seorang pengusaha timah Bangka Belitung. Ditambahkan Ismiryadi yang biasa dipanggil Dodot ini, karena beginilah realitas yang terjadi, tidak bisa pula disimpulkan dengan kaca mata hitam putih, salah atau benar. “Semua tergantung bagaimana kita memahami situasi yang terjadi dan persoalan pelaksanaan aturan di bawah. Lantaran Itu diminta keterampilan memposisikan diri,” katanya. Kalau pengusaha masuk, urai Dodot, dengan izin dan siap berkoordinasi, ia akan aman. Tetapi kalau izin saja yang diandalkan, maka ia akan terjebak dalam urusan yang bertele-tele.
Kalau tidak enjoy, jangan!” Selain itu, kata Dodot, pemain timah sering mengisukan mempermainkan harga. Sebetulnya harga tidak masalah bagi masyarakat kalau memang ingin menerapkan pola ekonomi kerakyatan. “Sebenarnya kita jujur saya, tanpa tambang rakyat kita tidak bisa mendapatkan pasir timah yang banyak. Tetapi kadang-kadang kita berpikir dan mencoba menggeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya,” jelasnya.
PT Timah dan Kobatin juga tidak punya kerelaan tentang lahan. “Kalau mau jujur, serahkan lahan yang dipandang PT Timah tidak berguna lagi kepada pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah bisa menata lahan tersebut dan selanjutnya memfungsikannya lagi,” katanya.